Selasa, 17 September 2019

Sejarah Kerajaan Sriwijaya



1024 M – Chola mengawali invasi militer kepada Sriwijaya, dipimpin seketika oleh Rajendra Chola. Sebelum menuju Sriwijaya, armada Chola lebih-lebih dulu menduduki kepulauan Andaman dan Nikobar. Kemudian, sebab selat Malaka dijaga ketat, mereka menyerbu via jalanan laut di komponen barat Sumatra dan selat Sunda yang sepi pengamanan. Dengan kencang, mereka menumbangkan Barus, pesisir Minangkabau dan Sunda, Lampung, Bengkulu, serta Komering. Kala itu, beberapa besar pasukan Sriwijaya tengah dipusatkan di Tambralingga untuk menghadapi serbuan pasukan Khmer.

1025 M – Satu persatu kota di Sriwijaya diduduki dan dibumihanguskan oleh armada Chola. Berturut-ikut serta Palembang, Bangka, Jambi, Gelanggi, Panai, Muar, Gangga Negara, sampai sentra pemerintahan Sriwijaya di Kedah takluk. Maharaja Sangrama Wijayatungga (bersama dengan saudarinya) yang tengah berada di Kedah dicokok dan dibawa ke Chola sebagai tawanan perang. Sang Maharaja kemudian dibebaskan kembali sesudah mengaku takluk pada Rajendra Chola, sementara saudarinya diambil sebagai istri oleh Rajendra Chola. Kerajaan Sriwijaya malahan menjadi bawahan Chola. Sementara Tambralingga dianeksasi oleh Khmer. Kahuripan mulai melancarkan ekspansi ke semua Bumi Jawa untuk menghapus hegemoni Sriwijaya di sana. Sebagian ningrat Sriwijaya diberitakan hijrah ke Kalimantan dan Filipina dampak invasi Chola, dimana mereka menjadi penguasa dari sebagian koloni Sriwijaya di sana. Salah satunya yakni kedatuan Madyaas, yang kemudian lepas menjadi negara merdeka. Biksu Atisha pulang kembali ke Benggala, sesudah menuntaskan pengajaran Buddha-nya dari Guru Besar Dharmakirti. Dia sendiri kemudian menjadi seorang Guru Besar yang bersemangat menyebarkan Buddha Dharma di jazirah Bharata (India) dan Tibet.

1028 M – Rajendra Chola menunjuk Sri Dewa sebagai raja baru Sriwijaya dibawah dinasti Chola, menggantikan Sangrama Wijayatungga. Sebelumnya, armada Chola lebih-lebih dulu menumbangkan Lamuri dan Langkasuka, dua negeri bawahan Sriwijaya terakhir di Tanah Melayu yang belum patuh pada Chola. Koloni-koloni Sriwijaya di Kalimantan dan Filipina kemungkinan besar melepaskan diri menjadi negara-negara merdeka.

1029 M – Chola menumbangkan negeri Batak Tua di pedalaman Toba. Sama halnya dengan Maharaja Sriwijaya, penguasa Batak juga dicokok dan menjadi tawanan perang.

1030 M – Prasasti Tanjore. Bangsa Chola menuliskan catatan kemenangan mereka dalam menaklukkan Sriwijaya dan merajai selat Malaka. Al-Biruni dari Persia mengunjungi Sriwijaya. Kerajaan Sunda memerdekakan diri dari Sriwijaya.

1035 M – Kalingga, koloni terakhir Sriwijaya di Jawa Tengah dianeksasi oleh Kahuripan.

1044 M – Samara Wijayatunggawarman, adik dari Sangrama Wijayatungga yang sukses meloloskan diri dikala invasi Chola, mengkudeta Sri Dewa dan menobatkan dirinya sebagai Maharaja Sriwijaya. Dia memimpin pemberontakan melawan kekuasaan Chola. Kala itu, Rajendra Chola diberitakan tengah mengunjungi Kedah untuk memantau keadaan ibukota Sriwijaya hal yang demikian. Konon, Rajendra Chola berjumpa dengan seorang putri Brahmana bernama Sundari, yang membuatnya kasmaran. Dia malahan mengirim prajuritnya untuk menculik sang putri. Sang prajurit sukses menjalankan tugasnya sesudah membunuh Brahmana Rajasundara, ayah Sundari yang berupaya melindungi putrinya hal yang demikian. Mendengar isu itu, Maharaja Samara Wijayatungga mengutus Senapati Purandara untuk membunuh Maharaja Chola hal yang demikian, dan sukses. Mereka kemudian mengawali serangan kepada tiap-tiap kota di Sriwijaya yang masih diduduki oleh pasukan Chola.

1045 M – Sriwijaya sepenuhnya merdeka dari Chola, sesudah peperangan besar antara armada Sriwijaya pimpinan Purandara melawan sisa-sisa pasukan Chola. Sriwijaya kemungkinan besar juga merebut kembali kota Chaiya dari kekuasaan Khmer. Maharaja Samara Wijayatungga kemudian memimpin ekspedisi ke Srilanka untuk menolong pembebasan negeri itu dari hegemoni Chola.

1048 M – Armada Sriwijaya sukses merajai semua Srilanka. Maharaja Samara Wijayatungga lalu mendirikan pemerintahan seketika disana selama 5 tahun.

1053 M – Maharaja Samara Wijayatungga meninggalkan Srilanka, sesudah melantik Pangeran Kasyapa sebagai Raja Anuradhapura dengan gelar Mahendra VI. Dia kemudian pergi ke kerajaan Pandya (yang kala itu juga berada di bawah pembatasan Chola) di daratan India Selatan, mengusir pasukan Chola di sana, dan mengangkat seorang ningrat setempat, Sundara Pandya sebagai Raja Pandya. Kedua negeri ini malahan berada di bawah naungan Sriwijaya sampai sebagian dekade ke depan.

1060 M – Prasasti Madirigiri. Inskripsi berisi kebanggaan dari Raja Mahendra VI terhadap Maharaja Samara Wijayatungga yang sudah menolong membebaskan negerinya dari penjajahan Chola.

1064 M – Aji Dharmawira (Suryanarayana/Sri Tribhuana Mauli?) diangkat menjadi raja bawahan Sriwijaya di kerajaan Malayu (Dharmasraya/Malayapura, Jambi-Minangkabau).

1067 M – Pangeran Kulotungga (Diwakara), ningrat berdarah Tamil-Melayu (keturunan Rajendra Chola dengan putri Sriwijaya yang dinikahinya di tahun 1025) mengabdi pada Maharaja Samara Wijayatungga kemudian dikirim sebagai duta besar ke Cina.

1068 M – Pemberontakan Kedah. Seorang pangeran Srilanka yang diberi pengaruh oleh Chola menundukkan Kedah dan mengangkat dirinya sebagai penguasa. Dikala itu, para pembesar Sriwijaya termasuk sang Maharaja sedang tak berada di ibukota. Sriwijaya mengirim Kulotungga untuk merebut kota itu kembali, dimana dia sukses membunuh sang pangeran Srilanka dan mengusir armada Chola, yang konon dipimpin seketika oleh penguasanya kala itu, Maharaja Wirarajendra.

1070 M – Perselisihan perebutan tahta di Chola. Maharaja Wirarajendra wafat, meninggalkan kekosongan pemerintahan di kerajaan Chola. Dua orang pangeran, ialah Athirajendra dan Kulotungga (yang sudah kembali dari Sriwijaya) berkonflik. Athirajendra timbul sebagai jawara dan naik tahta sebagai Maharaja Chola. Kulotungga yang betul-betul bercita-cita menjadi raja malahan menyerang ibukota Chola berkali-kali, tapi senantiasa gagal. Dia kemudian mundur ke Srilanka, menemui Mahendra VI yang mengusulkannya untuk minta bantuan pada Sriwijaya. Kulotungga malahan kembali ke Sriwijaya, memohon bantuan dari Maharaja Samara Wijayatungga. Sang Maharaja sependapat, dan mengirimkan sejumlah pasukan pimpinan putra mahkota Sriwijaya, Pangeran Manabharana. Mereka mendirikan markas di Srilanka dan Pandya. Bersama dengan pasukan dari kedua negeri itu, armada Sriwijaya menggempur ibukota Chola dan sukses menaklukkannya. Selama sebagian waktu, kota ini malahan diduduki oleh Sriwijaya, sampai diangkatnya Kulotungga sebagai Maharaja Chola yang baru. Manabharana dan pasukannya malahan memastikan untuk kembali ke Kedah, melepaskan imbas Sriwijaya di daratan India.

1071 M – Pangeran Wijayabahu dinobatkan sebagai penguasa Srilanka, mendirikan kerajaan Polonnaruwa sesudah memindahkan ibukotanya ke daerah yang bernama sama. Dia kemungkinan melepaskan negeri itu dari hegemoni Sriwijaya.

1080 M – Maharaja Samara Wijayatungga wafat. Manabharana naik tahta sebagai Maharaja Sriwijaya menggantikannya.

1088 M – Perpecahan Sriwijaya. Penguasa Malayu, Dharmawira memerdekakan diri dari pemerintahan sentra Sriwijaya, yang kala itu diandalkan berada di Chaiya. Dharmawira merajai Sumatra dan kepulauan Riau, sementara Manabharana merajai Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra. Kelak, kedua negara ini lebih diketahui dengan nama Dharmasraya (Malayapura) dan Tambralingga. Sesudah ini, keduanya hidup berdampingan sampai sebagian dekade kemudian. Riwayat kemaharajaan Sriwijaya yang bersatu malahan sah usai.


Kerajaan Sriwijaya



Sejarah berdirinya Nusantara tentu tak lepas dari pengorbanan para pahlawan. Kecuali pengorbanan para pahlawan, tentunya kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia juga mempunyai dampak besar kepada sejarah Indonesia. Salah satu kerajaan besar yang ada di Indonesia merupakan kerajaan Sriwijaya.





Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan Melayu yang berada di pulau Sumatera serta mempunyai dampak besar kepada Nusantara. Nama kerajaan ini berasal dari Bahasa Sansekerta, sri artinya bersinar dan wijaya yang mempunyai arti kemenangan. Sehingga arti nama kerajaan ini berarti kemenangan yang bersinar.

Tempat kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang mencakup Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, pun sampai Pulau Jawa ini membikin nama Kerajaan Sriwijaya diketahui di segala Nusantara. Tak cuma dari Nusantara saja, akan tapi juga kerajaan ini diketahui sampai ke mancanegara.

Hal ini diterangkan dengan adanya pelbagai sumber yang menceritakan adanya kerajaan di Sumatera ini. Ada berita yang mengatakan bahwa para pedagang dari Arab dan Cina pernah berdagang di Sriwijaya. Meskipun berdasarkan isu dari India, kerajaan di India pernah berprofesi sama dengan kerajaan Sriwijaya.

Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya


Sebuah kerajaan yang besar tentunya mempunyai sejarah jaya dan ambruknya yang tentu akan senantiasa diingat oleh masyarakat Indonesia. Sejarah masa kejayaan kerajaan Sriwijaya diawali sekitar abad ke 9 sampai abad ke 10 di mana ketika itu kerajaan ini sukses merajai trek perdagangan maritim Asia Tenggara.

Tak cuma perdagangan maritim saja, akan tapi juga pelbagai kerajaan di Asia Tenggara sukses diatur oleh Sriwijaya. Kerajaan di Thailand, Kamboja, Filipina, Vietnam, sampai Sumatera dan Jawa sukses diatur Sriwijaya.

  Kerajaan Samudra Pasai
Masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya menjadi pengendali rute perdagangan lokal yang mana waktu itu segala kapal yang via akan dikenakan bea cukai. Mereka juga sukses mengumpulkan kekayaan mereka dari gudang perdagangan serta via jasa pelabuhan.

Sayangnya, masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya mesti usai sekitar tahun 1007 dan 1023 Masehi. Berawal saat Raja Rajendra Chola, seorang penguasa Kerajaan Cholamandala sukses menyerang Sriwijaya dan sukses merebut bandar-bandar kota Sriwijaya.

Terjadinya penyerangan ini sebab kedua kerajaan ini saling berkompetisi pada bidang pelayaran serta perdagangan. Kerajaan Cholamandala bukan berniat untuk menjajah, akan tapi berkeinginan meruntuhkan armada kerajaan. Sehingga membikin keadaan ekonomi pada ketika itu melemah serta berkurangnya pedagang.



Tak cuma itu, energi militer kerajaan juga melemah dan membikin prajurit Sriwijaya melepaskan diri dari kerajaan. Sampai, masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya usai sekitar abad ke-13.

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya
Sebagai kerajaan yang pernah jaya di Nusantara, tentunya peninggalan kerajaan Sriwijaya tersebar di segala tempat kekuasaan mereka. Salah satu ragam peninggalan kerajaan Sriwijaya yang masih ada sampai ketika ini merupakan berupa prasasti. Berikut ini adalah prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya.

1. Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur adalah prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang berada di komponen Barat Pulau Bangka. Bahasa yang ditulis pada prasasti ini memakai bahasa Melayu Kuno serta memakai aksara Pallawa. Prasasti ini ditemukan sekitar tahun 1892 bulan Desember.

Orang yang sukses menemukan prasasti ini merupakan J.K. van der Meulen. Prasasti ini berisi perihal kutukan bagi siapa saja yang menyanggah instruksi serta kekuasaan kerajaan akan terkena kutukan.



2. Prasasti Kedukan Bukit
Seseorang bernama Batenburg menemukan sebuah batu tulis yang berada di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir pada 29 November 1920 Masehi. Ukuran dari prasasti ini merupakan sekitar 45 x 80 centimeter serta ditulis memakai aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.

  Kerajaan Mataram Islam
Prasasti ini berisi perihal seorang utusan kerajaan yang bernama Dapunta Hyang yang melaksanakan perjalanan suci atau sidhayarta dengan memakai perahu. Dengan diiringi 2000 pasukan, perjalanannya membuahkan hasil. Dikala ini, prasasti Kedukan Bukit disimpan di Museum Nasional Indonesia.

3. Prasasti Telaga Batu
Prasasti ini ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang. Isi dari prasasti ini merupakan mengenai kutukan bagi mereka yang bertindak jahat di Sriwijaya. Eksistensi prasasti ini sama seperti prasasti Kedukan Bukit, adalah disimpan di Museum Nasional Indonesia.

4. Prasasti Talang Tuwo
Residen Palembang, adalah Louis Constant Westenenk menemukan prasasti pada 17 November 1920. Prasasti ini ditemukan di kaki Bukit Seguntang di sekitar tepian utara Sungai Musi. Isi dari prasasti ini berisi doa-doa dedikasi dan menampakkan berkembangnya agama Buddha di Sriwijaya.

Aliran yang diaplikasikan di Sriwijaya merupakan aliran Mahayana yang diterangkan dengan kata-kata dari Buddha Mahayana seperti bodhicitta, vajrasarira, dan lain-lain.

5. Prasasti Ligor
Prasasti yang ditemukan di Thailand Selatan ini mempunyai dua sisi, adalah sisi A dan sisi B. Pada sisi A membeberkan perihal gagahnya raja Sriwijaya. Dalam prasasti hal yang demikian ditulis bahwa raja Sriwijaya adalah raja dari seluruh raja dunia yang telah mendirikan Trisamaya Caiya bagi Kajara.

Meskipun untuk sisi B atau yang disebut prasasti ligor B berisi mengenai pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana. Gelar hal yang demikian diberi terhadap Sri Maharaja yang mana berasal dari keluarga Sailendravamasa.

6. Prasasti Palas Pasemah
Prasasti Palas Pasemah adalah prasasti yang sukses ditemukan di desa Palas Pasemah, Lampung Selatan. Bahasa yang diaplikasikan pada prasasti ini memakai bahasa Melayu Kuno dengan aksara Pallawa serta tertata atas 13 baris kalimat.

Isi dari prasasti ini berisi perihal kutukan kepada orang yang tak patuh pada kekuasaan Sriwijaya. Diperkirakan, prasasti ini berasal dari abad ke-7 Masehi. Konon, prasasti ini ditemukan di sebuah pinggiran rawa desa.

7. Prasasti Karang Daya
Kontrolir L.M. Berkhout menemukan prasasti Karang Daya pada tahun 1904 di sekitar tepian Batang Merangin, Jambi. Isi dari prasasti Karang Daya juga kurang lebih hampir sama dengan prasasti di nilai sebelumnya, adalah mengenai kutukan bagi mereka yang tak patuh kepada Sriwijaya.

Artikel ini adalah persembahan dari Sewa Kipas Jogja