1024 M – Chola mengawali invasi militer kepada
Sriwijaya, dipimpin seketika oleh Rajendra Chola. Sebelum menuju Sriwijaya,
armada Chola lebih-lebih dulu menduduki kepulauan Andaman dan Nikobar.
Kemudian, sebab selat Malaka dijaga ketat, mereka menyerbu via jalanan laut di
komponen barat Sumatra dan selat Sunda yang sepi pengamanan. Dengan kencang,
mereka menumbangkan Barus, pesisir Minangkabau dan Sunda, Lampung, Bengkulu,
serta Komering. Kala itu, beberapa besar pasukan Sriwijaya tengah dipusatkan di
Tambralingga untuk menghadapi serbuan pasukan Khmer.
1025 M – Satu persatu kota di
Sriwijaya diduduki dan dibumihanguskan oleh armada Chola. Berturut-ikut serta
Palembang, Bangka, Jambi, Gelanggi, Panai, Muar, Gangga Negara, sampai sentra pemerintahan
Sriwijaya di Kedah takluk. Maharaja Sangrama Wijayatungga (bersama dengan
saudarinya) yang tengah berada di Kedah dicokok dan dibawa ke Chola sebagai
tawanan perang. Sang Maharaja kemudian dibebaskan kembali sesudah mengaku
takluk pada Rajendra Chola, sementara saudarinya diambil sebagai istri oleh
Rajendra Chola. Kerajaan Sriwijaya malahan menjadi bawahan Chola. Sementara
Tambralingga dianeksasi oleh Khmer. Kahuripan mulai melancarkan ekspansi ke
semua Bumi Jawa untuk menghapus hegemoni Sriwijaya di sana. Sebagian ningrat
Sriwijaya diberitakan hijrah ke Kalimantan dan Filipina dampak invasi Chola,
dimana mereka menjadi penguasa dari sebagian koloni Sriwijaya di sana. Salah
satunya yakni kedatuan Madyaas, yang kemudian lepas menjadi negara merdeka.
Biksu Atisha pulang kembali ke Benggala, sesudah menuntaskan pengajaran
Buddha-nya dari Guru Besar Dharmakirti. Dia sendiri kemudian menjadi seorang
Guru Besar yang bersemangat menyebarkan Buddha Dharma di jazirah Bharata
(India) dan Tibet.
1028 M – Rajendra Chola menunjuk
Sri Dewa sebagai raja baru Sriwijaya dibawah dinasti Chola, menggantikan
Sangrama Wijayatungga. Sebelumnya, armada Chola lebih-lebih dulu menumbangkan
Lamuri dan Langkasuka, dua negeri bawahan Sriwijaya terakhir di Tanah Melayu
yang belum patuh pada Chola. Koloni-koloni Sriwijaya di Kalimantan dan Filipina
kemungkinan besar melepaskan diri menjadi negara-negara merdeka.
1029 M – Chola menumbangkan
negeri Batak Tua di pedalaman Toba. Sama halnya dengan Maharaja Sriwijaya,
penguasa Batak juga dicokok dan menjadi tawanan perang.
1030 M – Prasasti Tanjore. Bangsa
Chola menuliskan catatan kemenangan mereka dalam menaklukkan Sriwijaya dan
merajai selat Malaka. Al-Biruni dari Persia mengunjungi Sriwijaya. Kerajaan
Sunda memerdekakan diri dari Sriwijaya.
1035 M – Kalingga, koloni
terakhir Sriwijaya di Jawa Tengah dianeksasi oleh Kahuripan.
1044 M – Samara
Wijayatunggawarman, adik dari Sangrama Wijayatungga yang sukses meloloskan diri
dikala invasi Chola, mengkudeta Sri Dewa dan menobatkan dirinya sebagai
Maharaja Sriwijaya. Dia memimpin pemberontakan melawan kekuasaan Chola. Kala
itu, Rajendra Chola diberitakan tengah mengunjungi Kedah untuk memantau keadaan
ibukota Sriwijaya hal yang demikian. Konon, Rajendra Chola berjumpa dengan
seorang putri Brahmana bernama Sundari, yang membuatnya kasmaran. Dia malahan
mengirim prajuritnya untuk menculik sang putri. Sang prajurit sukses
menjalankan tugasnya sesudah membunuh Brahmana Rajasundara, ayah Sundari yang
berupaya melindungi putrinya hal yang demikian. Mendengar isu itu, Maharaja
Samara Wijayatungga mengutus Senapati Purandara untuk membunuh Maharaja Chola
hal yang demikian, dan sukses. Mereka kemudian mengawali serangan kepada
tiap-tiap kota di Sriwijaya yang masih diduduki oleh pasukan Chola.
1045 M – Sriwijaya sepenuhnya
merdeka dari Chola, sesudah peperangan besar antara armada Sriwijaya pimpinan
Purandara melawan sisa-sisa pasukan Chola. Sriwijaya kemungkinan besar juga
merebut kembali kota Chaiya dari kekuasaan Khmer. Maharaja Samara Wijayatungga
kemudian memimpin ekspedisi ke Srilanka untuk menolong pembebasan negeri itu
dari hegemoni Chola.
1048 M – Armada Sriwijaya sukses
merajai semua Srilanka. Maharaja Samara Wijayatungga lalu mendirikan
pemerintahan seketika disana selama 5 tahun.
1053 M – Maharaja Samara
Wijayatungga meninggalkan Srilanka, sesudah melantik Pangeran Kasyapa sebagai
Raja Anuradhapura dengan gelar Mahendra VI. Dia kemudian pergi ke kerajaan
Pandya (yang kala itu juga berada di bawah pembatasan Chola) di daratan India Selatan,
mengusir pasukan Chola di sana, dan mengangkat seorang ningrat setempat,
Sundara Pandya sebagai Raja Pandya. Kedua negeri ini malahan berada di bawah
naungan Sriwijaya sampai sebagian dekade ke depan.
1060 M – Prasasti Madirigiri.
Inskripsi berisi kebanggaan dari Raja Mahendra VI terhadap Maharaja Samara
Wijayatungga yang sudah menolong membebaskan negerinya dari penjajahan Chola.
1064 M – Aji Dharmawira
(Suryanarayana/Sri Tribhuana Mauli?) diangkat menjadi raja bawahan Sriwijaya di
kerajaan Malayu (Dharmasraya/Malayapura, Jambi-Minangkabau).
1067 M – Pangeran Kulotungga
(Diwakara), ningrat berdarah Tamil-Melayu (keturunan Rajendra Chola dengan
putri Sriwijaya yang dinikahinya di tahun 1025) mengabdi pada Maharaja Samara
Wijayatungga kemudian dikirim sebagai duta besar ke Cina.
1068 M – Pemberontakan Kedah.
Seorang pangeran Srilanka yang diberi pengaruh oleh Chola menundukkan Kedah dan
mengangkat dirinya sebagai penguasa. Dikala itu, para pembesar Sriwijaya
termasuk sang Maharaja sedang tak berada di ibukota. Sriwijaya mengirim
Kulotungga untuk merebut kota itu kembali, dimana dia sukses membunuh sang
pangeran Srilanka dan mengusir armada Chola, yang konon dipimpin seketika oleh
penguasanya kala itu, Maharaja Wirarajendra.
1070 M – Perselisihan perebutan
tahta di Chola. Maharaja Wirarajendra wafat, meninggalkan kekosongan
pemerintahan di kerajaan Chola. Dua orang pangeran, ialah Athirajendra dan
Kulotungga (yang sudah kembali dari Sriwijaya) berkonflik. Athirajendra timbul
sebagai jawara dan naik tahta sebagai Maharaja Chola. Kulotungga yang
betul-betul bercita-cita menjadi raja malahan menyerang ibukota Chola
berkali-kali, tapi senantiasa gagal. Dia kemudian mundur ke Srilanka, menemui
Mahendra VI yang mengusulkannya untuk minta bantuan pada Sriwijaya. Kulotungga
malahan kembali ke Sriwijaya, memohon bantuan dari Maharaja Samara
Wijayatungga. Sang Maharaja sependapat, dan mengirimkan sejumlah pasukan
pimpinan putra mahkota Sriwijaya, Pangeran Manabharana. Mereka mendirikan
markas di Srilanka dan Pandya. Bersama dengan pasukan dari kedua negeri itu,
armada Sriwijaya menggempur ibukota Chola dan sukses menaklukkannya. Selama
sebagian waktu, kota ini malahan diduduki oleh Sriwijaya, sampai diangkatnya
Kulotungga sebagai Maharaja Chola yang baru. Manabharana dan pasukannya malahan
memastikan untuk kembali ke Kedah, melepaskan imbas Sriwijaya di daratan India.
1071 M – Pangeran Wijayabahu
dinobatkan sebagai penguasa Srilanka, mendirikan kerajaan Polonnaruwa sesudah
memindahkan ibukotanya ke daerah yang bernama sama. Dia kemungkinan melepaskan
negeri itu dari hegemoni Sriwijaya.
1080 M – Maharaja Samara
Wijayatungga wafat. Manabharana naik tahta sebagai Maharaja Sriwijaya
menggantikannya.
1088 M – Perpecahan Sriwijaya.
Penguasa Malayu, Dharmawira memerdekakan diri dari pemerintahan sentra
Sriwijaya, yang kala itu diandalkan berada di Chaiya. Dharmawira merajai
Sumatra dan kepulauan Riau, sementara Manabharana merajai Semenanjung Malaya
dan Tanah Genting Kra. Kelak, kedua negara ini lebih diketahui dengan nama
Dharmasraya (Malayapura) dan Tambralingga. Sesudah ini, keduanya hidup
berdampingan sampai sebagian dekade kemudian. Riwayat kemaharajaan Sriwijaya
yang bersatu malahan sah usai.